Pagi yang indah di hari kesebelas awal tahun ini, seorang teman datang ke rumahku untuk meminjam kakiku. Aku sama sekali tidak menanyakan apa yang terjadi dengan kakinya sehingga dia meminjam kakiku, karena menurutku itu tidak pantas dan memang tidak perlu. Mungkin saja kakinya sedang sakit, dan atau mungkin rusak atau patah. Dia meminjam kakiku karena hari ini adalah hari ulang tahun kekasihnya yang ke-21. Dia hendak mengantar kekasihnya melihat sesuatu yang indah yang sudah cukup lama direncanakannya. Mereka berdua adalah kawan baikku. Dengan senang hati aku meminjamkan sepasang kakiku yang sederhana ini karena aku tahu pada saat itu aku tidak terlalu membutuhkannya. Pagi itu aku akan berdiam dirumah, dan mungkin saja tertidur. Apa artinya sepasang kaki untuk kita jika kita sedang tertidur? Aku pikir kawanku lebih membutuhkannya.
Meskipun tidak menanyakan untuk apa, namun aku ingat betul, sebelumnya aku meminta temanku untuk mengembalikannya sebelum tengah hari karena aku membutuhkan kakiku untuk mengantar sesuatu kepada ibuku di sawah. Kawanku juga berjanji akan segera mengembalikannya sesuai dengan permintaanku.
Jam sudah menunjuk pukul sebelas siang. Seingatku, kawanku yang baik itu berjanji akan pulang sebelum tengah hari, tapi hingga sekarang belum juga muncul. Mungkin mereka dalam perjalanan pulang, hiburku dalam hati.
Menit demi menit berlalu, sekarang sudah tengah hari, tetapi dia belum datang juga. Aku mulai kecewa. Aku rasa aku sudah cukup menunggunya. Marah dan panik menari-nari di depanku. Aku berjanji dalam hati tidak akan pernah meminjamkan kakiku lagi kepadanya. Kawan yang sudah lama aku kenal telah ingkar janji.
Sambil terus mengumpat, aku memaksakan diri untuk berjalan tanpa kaki mengantar sesuatu untuk ibuku. Aku tidak ingin ibuku kecewa karena menungguku seperti aku yang terlalu lama menunggu temanku. Di tengah jalan tiba-tiba aku menjadi cemas, mungkin saja temanku mengalami kecelakaan di perjalanan pulang tadi, kesandung, misalnya. Atau mungkin ini hanya keinginan bawah sadarku yang terus berseru untuk tetap memaafkan kesalahan temanku itu. Keinginanku terus bergolak untuk memaafkannya, tapi tidak untuk saat ini.
Aku berjalan sangat pelan menyusuri jalan desa yang berbatu di bawah terik yang sangat menyengat. Aku merasa kepalaku mendidih. Aku berjalan tertatih-tatih menggunakan kedua tangan untuk mengganti kedua kakiku. Sungguh terasa berat badanku ini. Aku juga mulai merasa sedikit perih di kedua telapak tanganku. Tanganku mulai berdarah, terdapat beberapa luka sayatan karena batu tajam disana-sini. Tapi keinginanku untuk mengantar sesuatu ke ibuku lebih kuat. Selama perjalanan aku sempat bertemu dengan beberapa orang. Kami saling sapa dan setiap orang selalu menanyakan kakiku. “Kemana kedua kakimu”?, “Mengapa harus berjalan tanpa kaki?” Aku hanya tersenyum menanggapinya. Sudahlah aku tidak mau orang lain tahu masalah ini, toh mereka belum tentu akan meminjamkan kakinya untukku.
Pukul empat sore. Setelah perjuangan setengah mati berjalan dengan kedua tanganku, samar-amar aku mulai menangkap bayangan ibu di sebuah gubuk di pinggiran sawah. Ternyata aku sudah hampir sampai. Beliau tampak berkeringat dan letih sekali. Air mukanya tetap bijaksana walau kecantikannya mulai memudar. Beliau tersenyum melihatku di kejauhan, meski sebelumnya sempat kaget dengan apa yang kurang pada diriku yaitu kakiku. Dalam sesaat dahaga, sakit, dan rasa letihku hilang karena senyuman itu, senyuman dari seorang ibu yang sama dari dulu hingga sekarang.
Aku terlambat dan ibu sudah lama menungguku disana. Beliau segera meminta maaf karena sudah merepotkanku. Aku hanya malu, ternyata semua yang aku pikirkan salah. Ibuku sama sekali tidak kecewa dengan keterlambatanku. Satu hal yang tidak beliau tanyakan adalah perihal kakiku. Ternyata beliau sudah tahu masalah yang menimpa diriku. Aku baru tahu bahwa ternyata yang terjadi dengan temanku sama sekali berbeda dengan apa yang aku pikirkan sebelumnya. Kini aku tahu, kawanku lebih membutuhkan sepasang kaki untuk saat ini. Ibu bercerita, sepulang mengatar kekasihnya, temanku memakai kakiku untuk membawa ibunya ke rumah sakit karena telah terpatuk ular saat ibunya meladang bersama ibuku. Dia tidak sempat meminta izin langsung kepadaku, jadi dia menitipkan permintaan maafnya kepada ibuku. Maafku untuk ibu dan kawanku.
Terima kasih ibu atas pelajaran hari ini. Aku telah salah menilai sesuatu karena ada sesuatu yang selalu dirahasiakan. Aku tidak akan pernah tahu seandainya aku tidak memutuskan untuk berjalan dengan tanganku. Inilah tugasku untuk mengetahui segala sesuatu yang disembunyikan-Nya.
Meskipun tidak menanyakan untuk apa, namun aku ingat betul, sebelumnya aku meminta temanku untuk mengembalikannya sebelum tengah hari karena aku membutuhkan kakiku untuk mengantar sesuatu kepada ibuku di sawah. Kawanku juga berjanji akan segera mengembalikannya sesuai dengan permintaanku.
Jam sudah menunjuk pukul sebelas siang. Seingatku, kawanku yang baik itu berjanji akan pulang sebelum tengah hari, tapi hingga sekarang belum juga muncul. Mungkin mereka dalam perjalanan pulang, hiburku dalam hati.
Menit demi menit berlalu, sekarang sudah tengah hari, tetapi dia belum datang juga. Aku mulai kecewa. Aku rasa aku sudah cukup menunggunya. Marah dan panik menari-nari di depanku. Aku berjanji dalam hati tidak akan pernah meminjamkan kakiku lagi kepadanya. Kawan yang sudah lama aku kenal telah ingkar janji.
Sambil terus mengumpat, aku memaksakan diri untuk berjalan tanpa kaki mengantar sesuatu untuk ibuku. Aku tidak ingin ibuku kecewa karena menungguku seperti aku yang terlalu lama menunggu temanku. Di tengah jalan tiba-tiba aku menjadi cemas, mungkin saja temanku mengalami kecelakaan di perjalanan pulang tadi, kesandung, misalnya. Atau mungkin ini hanya keinginan bawah sadarku yang terus berseru untuk tetap memaafkan kesalahan temanku itu. Keinginanku terus bergolak untuk memaafkannya, tapi tidak untuk saat ini.
Aku berjalan sangat pelan menyusuri jalan desa yang berbatu di bawah terik yang sangat menyengat. Aku merasa kepalaku mendidih. Aku berjalan tertatih-tatih menggunakan kedua tangan untuk mengganti kedua kakiku. Sungguh terasa berat badanku ini. Aku juga mulai merasa sedikit perih di kedua telapak tanganku. Tanganku mulai berdarah, terdapat beberapa luka sayatan karena batu tajam disana-sini. Tapi keinginanku untuk mengantar sesuatu ke ibuku lebih kuat. Selama perjalanan aku sempat bertemu dengan beberapa orang. Kami saling sapa dan setiap orang selalu menanyakan kakiku. “Kemana kedua kakimu”?, “Mengapa harus berjalan tanpa kaki?” Aku hanya tersenyum menanggapinya. Sudahlah aku tidak mau orang lain tahu masalah ini, toh mereka belum tentu akan meminjamkan kakinya untukku.
Pukul empat sore. Setelah perjuangan setengah mati berjalan dengan kedua tanganku, samar-amar aku mulai menangkap bayangan ibu di sebuah gubuk di pinggiran sawah. Ternyata aku sudah hampir sampai. Beliau tampak berkeringat dan letih sekali. Air mukanya tetap bijaksana walau kecantikannya mulai memudar. Beliau tersenyum melihatku di kejauhan, meski sebelumnya sempat kaget dengan apa yang kurang pada diriku yaitu kakiku. Dalam sesaat dahaga, sakit, dan rasa letihku hilang karena senyuman itu, senyuman dari seorang ibu yang sama dari dulu hingga sekarang.
Aku terlambat dan ibu sudah lama menungguku disana. Beliau segera meminta maaf karena sudah merepotkanku. Aku hanya malu, ternyata semua yang aku pikirkan salah. Ibuku sama sekali tidak kecewa dengan keterlambatanku. Satu hal yang tidak beliau tanyakan adalah perihal kakiku. Ternyata beliau sudah tahu masalah yang menimpa diriku. Aku baru tahu bahwa ternyata yang terjadi dengan temanku sama sekali berbeda dengan apa yang aku pikirkan sebelumnya. Kini aku tahu, kawanku lebih membutuhkan sepasang kaki untuk saat ini. Ibu bercerita, sepulang mengatar kekasihnya, temanku memakai kakiku untuk membawa ibunya ke rumah sakit karena telah terpatuk ular saat ibunya meladang bersama ibuku. Dia tidak sempat meminta izin langsung kepadaku, jadi dia menitipkan permintaan maafnya kepada ibuku. Maafku untuk ibu dan kawanku.
Terima kasih ibu atas pelajaran hari ini. Aku telah salah menilai sesuatu karena ada sesuatu yang selalu dirahasiakan. Aku tidak akan pernah tahu seandainya aku tidak memutuskan untuk berjalan dengan tanganku. Inilah tugasku untuk mengetahui segala sesuatu yang disembunyikan-Nya.
1 comment:
menarik sekali catatan kaki tanpa kaki.... aku suka membaca kisah2 yg inspiratif seperti ini... sangat memotivasi, membuat kita lebih bersyukur
Post a Comment